Motto

Dari seorang ibu untuk dibagi ke dan dikomentari oleh semua pemerhati anak...

Sabtu, 20 Oktober 2007

PINDAH ALAMAT ke PerkembanganAnak.Com

Pembaca yang budiman,

Untuk kemudahan akses, blog saya telah pindah alamat ke:

http://PerkembanganAnak.Com/

Untuk selanjutnya blog saya akan berada di alamat baru tersebut.

Wassalam,
Yusi Rosmansyah Elsiano

Apa yang Harus Dilakukan Agar Anak Berperilaku Terpuji?

Dalam upaya membesarkan anak terkadang orang tua merasa kewalahan dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi anaknya yang sulit diatur, tidak patuh, tidak peduli dan bahkan sering menyakiti perasaan orang tuanya (membentak dan melawan). Padahal mereka sudah merasa telah memberikan segala yang diinginkan anaknya seperti kebutuhan pendidikan, pakaian, mainan, dan makanan. Namun mengapa anak tetap saja tidak mau patuh, sopan, disiplin dan bertanggung jawab?


Perlu kita pahami bahwa seorang anak bukan hanya memerlukan kebutuhan jasmani saja seperti uang untuk membeli mainan dan makanan, sekolah di tempat yang bergengsi, dan pakaian yang mahal. Tetapi, ada kebutuhan lain yang dapat memberikan hidup anak akan menjadi lebih berarti. Kebutuhan tersebut adalah terpenuhinya kebutuhan rohani seperti kasih sayang, cinta, perhatian, dan pujian terutama dari orang-orang terdekatnya, orang tua.


Kita setuju bahwa rumah (keluarga) merupakan sekolah pertama bagi anak. Tempat dimana seorang anak pertama kali mendapatkan pelajaran tentang bagaimana ‘hidup’. Orang tua adalah guru pertama yang mengajarkan dan membimbing anak bagaimana berperilaku. Untuk itu, ada beberapa unsur pokok yang perlu orang tua lakukan agar mudah dalam mendidik anak berperilaku terpuji (Mahmud Al-Khal’wi dan Muhammad Said Mursi 2007), yaitu memberikan kasih sayang, bersikap sabar, dan memberikan tauladan.


Cinta dan kasih sayang.
Pemaksaan dan kekerasan bukan merupakan cara yang baik dalam mendidik anak. Tindakan orang tua tersebut tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang terjadi, justru sebaliknya. Pemaksaan atau kekerasan yang dilakukan oleh orang tua sebagai cara untuk mendidik anak dapat mendorong timbulnya masalah baru dalam diri anak. Anak akan mengalami luka bathin atau berperilaku keras dan kasar karena ia akan menganggap bahwa kekerasan dan pemaksaan adalah cara biasa untuk menyelesaikan masalah.

Sebagai orang tua yang mendambakan anak yang berperilaku terpuji, hendaklah mendidiknya dengan kelembutan, cinta dan kasih sayang. Seseorang akan mampu memberi sesuatu jika ia memiliki sesuatu untuk diberikan, begitu juga pada diri anak. Seorang anak akan mampu memberikan cinta, kasih sayang dan kelembutan jika ia memiliki semua itu.

Orang tua yang memberikan segudang cinta kepada anak mampu membuat anak menjadi ’jatuh cinta’ kepada orang tuanya. Kita semua tentu setuju bahwa jika seseorang telah jatuh cinta maka ia akan melakukan segalanya untuk membahagiakan orang yang dicintainya, begitu juga pada anak. Anak yang mencintai orang tuanya akan selalu mendengarkan kata-kata mereka dan tidak melakukan sesuatu yang akan mengecewakan orang tuanya.



Kesabaran.
Pada umumnya, sebuah proses yang dilakukan dengan tergesa-gesa tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Contohnya, ketika seorang ibu membuat suatu makanan untuk pesta. Masakan yang dihasilkan sang ibu tersebut bila dilakukan dengan tergesa-gesa dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yang membuat tampilan, rasa ataupun warna makanan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Hal di atas akan sama hasilnya, jika orang tua membesarkan anak dengan sikap tidak sabar (terburu-buru). Mendidik, merawat dan membimbing anak selain perlu waktu tentunya memerlukan kesabaran dari pendidiknya, orang tua.

Proses membesarkan anak tidak mungkin dapat dilakukan dengan instan. Ada hal-hal tertentu yang memerlukan kesabaran dalam melaksanakannya, seperti pada saat orang tua menghadapi anak yang melakukan kesalahan atau ketika orang tua sedang menerapkan sikap disiplin kepada anak.

Tindakan menasehati, membimbing dan mengarahkan anak selain memerlukan ilmu dan keterampilan diperlukan juga sebuah kesabaran. Sering kali orang tua perlu mengingatkan, menasehati dan memberikan contoh berulang. Untuk itu, jika orang tua tergesa-gesa dalam bertindak kemungkinan masalah yang terjadi bukannya cepat selesai tetapi sebaliknya akan menimbulkan masalah baru seperti orang tua dan anak mengalami stress dan salah faham.

Teladan yang baik
Pada dasarnya anak senang meniru. Salah satu bentuk perilaku yang ia miliki diperolehnya dengan cara mencontoh dari orang-orang terdekatnya. Untuk itu, orang tua dan anggota keluarga lain perlu berhati-hati dalam bersikap dan bertindak terutama ketika sedang berada di dekat anak.

Anak belajar dari apa yang diperlihatkan kepadanya baik dengan sengaja maupun tidak disengaja. Orang tua tidak mungkin mengharapkan anaknya untuk tidak berbohong jika dalam berbicara orang tua selalu berbohong. Begitu juga dalam hal menanamkan perilaku terpuji pada anak ( Sabar, disiplin dan bertanggung jawab) perlu sebuah tauladan dari orang tua kepada anaknya.

Jumat, 19 Oktober 2007

Tips Bagi Orang Tua yang Menginginkan Anaknya Berperilaku Terpuji (patuh, sopan, disiplin dan tanggung jawab)

Kita setuju bahwa setiap orang tua pasti menginginkan anaknya memiliki perilaku terpuji. Di bawah ini ada beberapa tips pokok, yaitu:

  1. Berikan cinta dan kasih sayang. Jika anak telah ‘jatuh cinta’ kepada orang tua maka ia akan patuh (mendengar kata-kata orang tua) dan selalu berusaha untuk tidak melakukan tindakan yang dapat mengecewakan orang tuanya.
  2. Bersabar dalam merawat, membimbing dan mengarahkan anak. Tidak ada suatu pekerjaan yang akan lebih baik hasilnya jika dilakukan dengan terburu-buru, begitu juga dalam mendidik anak.
  3. Berikan tauladan yang baik karena anak belajar dari apa yang diperlihatkan kepadanya.

Kamis, 18 Oktober 2007

Khawatir Anak Bunuh Diri? Evaluasi, Introspeksi dan Ilmu Orang tua adalah Obatnya

Masa remaja adalah masa yang paling indah dan menyenangkan. Hari-hari penuh dengan tawa, canda dan keceriaan. Perhatian, pengertian dan curahan kasih sayang dari orangtua adalah menu utama masa-masa ini. Paling tidak, kondisi inilah yang didambakan setiap anak, dan yang semestinya diwujudkan oleh orangtua.


Namun sayang, justru keadaan sebaliknya yang banyak dialami oleh sebagian anak-anak di lingkungan kita. Kekecewaan, kesedihan, ketakutan, dan kegelisahan lebih sering mendominasi kehidupan mereka. Kehidupan sehari-hari mereka tak ubahnya seperti neraka dunia.


Akhir-akhir ini, berita tentang anak bunuh diri hampir setiap hari muncul di media massa. Berbagai cara mereka lakukan untuk mengakhiri hidup, mulai dari menusukkan pisau dapur ke perut, menyirami seluruh tubuh dengan minyak tanah dan menyulutnya dengan api, sampai menggantung diri.



Faktor Penyebab

Pusat Psikiatri Universitas Texas (2007) dan sumber lain menyebutkan faktor-faktor penyebab bunuh diri pada anak usia belasan tahun, antara lain:
Masalah orangtua (broken home)
Kekerasan dalam keluarga
Dipermalukan teman di sekolah dan tempat bermain (bullying, pelecehan)
Masalah ekonomi keluarga
Diabaikan oleh keluarga dan teman
Putus hubungan dengan kekasih
Depresi


Disebutkan juga bahwa pendorong terjadinya tindakan bunuh diri itu biasanya kombinasi dari beberapa faktor penyebab di atas.


Kasus-kasus bunuh diri anak-anak di masyarakat kita mencerminkan salah satu atau kombinasi dari faktor-faktor penyebab di atas, dengan kecenderungan utama karena rasa malu oleh teman. Misalnya, kasus bunuh diri dua murid SMP akhir-akhir ini di Garut dan Sukabumi (PR, 2 dan 3 Juli 2007) diduga akibat masalah di sekolah, yaitu malu oleh teman-temannya karena nilainya buruk dan tidak naik kelas. Berita surat kabar sebelumnya, seorang murid SD kelas VI di Garut gantung diri karena tidak mampu membayar iuran kegiatan esktra kurikuler. Seorang anak SD kelas V lainnya bunuh diri karena dimarahi habis-habisan oleh ibunya. Dan sekian banyak anak lainnya telah meninggal sia-sia karena berbagai faktor penyebab di atas.


Perlu diingat, bahwa kasus-kasus bunuh diri anak-anak ini boleh jadi merupakan puncak gunung es (the tip of an iceberg). Jumlah anak-anak yang mempunyai masalah tetapi belum sampai nekat melakukan bunuh diri niscaya jauh lebih besar. Permasalahan anak-anak yang masuk kategori ini akan dibahas di tulisan lain.


Perilaku pelecehan, penindasan dan penghinaan yang diterima oleh anak dapat terjadi baik di dalam rumah maupun di lingkungan sekitarnya, seperti sekolah dan tempat bermain. Beban malu dan perasaan tertekan yang terus menerus akan mengarah pada kondisi stress dan depresi, yang akhirnya membuat sang anak merasa lebih baik mengakhiri hidupnya. Pikiran negatif yang timbul di dalam benak anak akan semakin parah bila tidak ada seseorang yang bisa dijadikan tempatnya mengadu dan berlindung.
Sifat Bijak Orangtua merupakan Obat Pencegah Bunuh Diri Anak


Dalam rangka menghindarkan terjadinya tindakan negatif (yang berakhir dengan bunuh diri) yang mungkin dilakukan oleh anak, marilah kita sebagai orangtua berusaha menjadi orangtua bijak, yaitu menjadi orang yang terdekat dengan anak, mencurahkan cinta dan kasih sayang yang adil dan tulus, dan selalu memberikan yang terbaik kepada anak.


Memang, berbagai penyebab anak berpikir dan bertindak negatif (seperti masalah perceraian orangtua, ekonomi keluarga, dan sebagainya) boleh jadi merupakan hal yang tidak dapat dielakkan. Namun demikian, menjadi orangtua bijak merupakan pilihan yang terbuka, yang pasti dapat dilakukan oleh semua orangtua, apapun kondisinya.


Ronald (2006) berpendapat bahwa orangtua harus menjadi orang yang terdekat dengan anak. Dengan kata lain, ikatan batin antara anak dan orangtua terjalin erat. Apabila hal ini terwujud, orangtua dapat mendeteksi secara dini potensi kesulitan dan masalah yang dialami anak.


Berikut ini adalah beberapa ciri tingkah laku anak yang bermasalah dan mengalami stress dan depresi (Pusat Psikiatri Universitas Texas, 2007), yang dapat dengan mudah diketahui oleh orangtua yang dekat dengan anaknya:
merasa tidak berguna, banyak mengeluh dan putus harapan
merasa terabaikan, merasa bersalah tanpa sebab
bersedih berkepanjangan
menangis tiba-tiba
mudah tersinggung
mogok beraktivitas
malas mengingat secara rinci tentang sesuatu
tiba-tiba tidak bernafsu makan, badan menjadi kurus
tidur tidak teratur
tiba-tiba berperilaku jorok (baik atas diri maupun lingkungan sekitar)
bersikap tak-acuh, sembrono, dan cenderung merusak
sesekali berkata ingin cepat meninggal atau mengakhiri hidup


Salah satu kunci kedekatan adalah terciptanya komunikasi yang baik antara anak dan orangtua. Savitri Ramadhani (2006) berpendapat bahwa melalui komunikasi manusia bisa memperoleh kepuasan psikologis seperti terpenuhinya perasaan cinta, perhatian dan kasih sayang.


Cinta dan kasih merupakan salah satu kebutuhan utama setiap manusia. Cinta dan kasih dapat memberikan rasa aman, percaya diri, hidup menjadi berarti, dan berprestasi. Dokter Untung Sentosa, M.Kes dan Aam Amirudin, M.Si. (2006) berpendapat bahwa kasih membuat prestasi seseorang menjadi lebih berarti. Jika berarti, orang tersebut mempunyai harga diri. Orang yang mempunyai harga diri akan percaya diri. Orang yang percaya diri akan berprestasi. Demikian seterusnya.


Pada umumnya, prestasi yang diperoleh anak merupakan salah satu bukti bahwa kebutuhan dasar hidup (baik material maupun spiritual) anak secara prinsip telah terpenuhi. Anak yang bahagia hati dan pikirannya akan terlepas dari pikiran dan tindakan negatif, apalagi bunuh diri.


Namun sebaliknya, bagi anak yang kurang perhatian dan curahan kasih sayang dari orangtuanya, jangankan berharap untuk mendapatkan prestasi yang membanggakan, berpikir positif saja ia akan sulit melakukannya. Kesedihan, kekecewaan, dan hilangnya kepercayaan diri yang sering ia rasakan akan cenderung lebih memicu timbulnya pikiran negatif.


Anak yang memiliki kepribadian dan emosi yang buruk biasanya terlahir dari sebuah keluarga yang memiliki pola asuh yang buruk pula. Oleh karena itu, pola asuh yang baik dalam keluarga merupakan kunci keberhasilan anak, yang otomatis merupakan kunci pencegah anak dari pikiran dan perbuatan negatif, sehingga tindakan bunuh diri menjadi sesuatu yang sangat mustahil dilakukan.


Evaluasi, Introspeksi dan Ilmu Orangtua adalah Obat Pemulih Gejala Bunuh Diri Anak


Orangtua dan keluarga adalah tempat di mana seorang anak semestinya dapat berlindung dan mendapatkan kebahagiaan. Hidup di dalam keluarga yang penuh dengan kehangatan cinta dan kasih sayang akan membuat anak selalu berpikir positif.


Perhatian, pengertian, motivasi, dan curahan kasih sayang yang diberikan orangtua kepada anak akan mampu mengobati beban hidup yang terkadang membuatnya stress dan depresi. Selain itu, juga mampu menciptakan semangat hidup pada anak untuk dapat bertahan dan berjuang mengisi hidup dengan prestasi.


Namun sebaliknya, bagi sebagian orangtua yang sering menyalahkan, memarahi, bahkan menyiksa dan mengusir anak dari rumah biasanya akan mendapatkan kesulitan dalam menangani dan memahami sang anak. Perilaku buruk orangtua tersebut, jika dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang dapat meninggalkan luka batin pada diri anak yang dapat menimbulkan pikiran negatif, bunuh diri.


Bagi sebagian orangtua, merubah atau menghilangkan kebiasaan buruk dalam memperlakukan anak tidak seperti membalikkan telapak tangan. Namun percayalah, dengan tekad dan kesungguhan orangtua tidak ada yang mustahil. Evaluasi, introspeksi, dan berusaha untuk selalu menambah ilmu adalah langkah yang baik untuk memperbaiki situasi buruk dalam keluarga.


Evaluasi diri, menghindarkan orangtua dari sikap menyalahkan sepihak (kesalahan anak) dan membantu orangtua untuk segera dapat menyadari dan memahami segala kekurangan dan kesalahan dalam memperlakukan anak sehingga segera dapat mperbaikinya.


Ilmu, pada umumnya ilmu menginformasikan dan mengajak pembaca untuk melakukan hal-hal yang terpuji dan memberikan solusi terhadap suatu masalah. Untuk itu, dalam rangka memperbaiki kepribadian seorang anak, pendekatan melalui ilmu (dunia, akhirat) juga tak kalah pentingnya.


Steve Biddulph dan Shaaron Bidulph (2006) banyak memberikan ilmu dan petunjuk kepada orangtua agar anak menjadi bahagia. Oleh karena itu yakinlah, sesulit apapun sifat dan sikap seorang anak jika ditangani dengan ilmu pada akhirnya akan berubah sesuai dengan apa yang diharapkan.



Penutup

Akhirnya, marilah kita sebagai orangtua selalu melakukan evaluasi, introspeksi dan menambah ilmu agar dapat mendidik anak-anak dengan rasa cinta dan kasih sayang secara adil dan tulus. Dengan demikian, kedekatan dan ikatan batin dalam keluarga akan terjalin dengan erat. Anak-anak akan tumbuh dengan matang, baik secara fisik maupun psikis dan merekapun akan siap mengatasi setiap kesulitan hidup. Namun demikian, manakala mereka merasa kewalahan, mereka tidak akan segan menceritakan persoalannya kepada kita, orangtuanya, secara terbuka. Jauhlah sudah pikiran negatif itu, apalagi tindakan bunuh diri.

Senin, 15 Oktober 2007

Hindari membanding-bandingkan antara anak yang satu dengan yang lainnya


Setiap orangtua tentu mendambakan semua anaknya menjadi orang yang sukses, cerdas, percaya diri dan berbudi baik. Begitupun yang diharapkan oleh setiap anak, mereka ingin selalu mendapatkan kasih sayang, perhatian, pujian dan dukungan dari orangtuanya.


Namun sayang, terkadang harapan dan impian yang diinginkan oleh anak-anak dan orangtua tidak dapat diwujudkan sesuai dengan kemampuan dan dalam waktu yang bersamaan. Tentunya semua itu disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki oleh masing-msing individu.


Menyadari bahwa pada diri setiap manusia terdapat kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda, ada kemungkinan terjadi sesuatu hal yang dapat membanggakan dan sebaliknya menimbulkan rasa sedih, kecewa, marah dan sulit untk menerima sebuah perilaku dan pencapaian yang dilakuka oleh masing-masing pihak (orangtua dan anak).


Walaupun, pada umumnya pihak yang pertama dapat merasakan dan menilai kekurangan dan kelebihan tersebut adalah pihak orangtua. Jarang sekali anak-anak, terutama anak yang belum dewasa dapat melihat diri seseorang dari sisi kelebihan dan kekurangan secara tepat.


Dari sisi usia dan pengalaman yang jauh berbeda antara orangtua dan anak-anak, sebagai orangtua bijaksana seyogyanya selalu berusaha untuk dapat memahami kondisi dan karakteristik setiap anak.


Terciptanya sikap saling memahami yang diawali oleh orangtua dapat menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga. Orangtua akan mampu menerima anak-anak apa adanya dan tidak mengharapkan sesuatu yang melebihi kemampuan yang dimiliki oleh mereka.


Di masyarakat kita, ada satu kesalahan yang kerap dilakukan oleh orangtua terhadap anak-anak, yaitu sikap orangtua yang selalu membanding-bandingkan secara tidak adil antara kemampuan anak yang satu dengan lainnya. Misalnya, dengan mengatakan kepada anak bahwa saudaranya atau anak-anak lain lebih baik darinya.


Tindakan membanding-bandingkan yang dilakukan orangtua seperti di atas, jika dilakuan secara terus menerus bukan hanya akan membuat anak-anak merasa tertekan (stress), tidak berguna, putus asa dan rendah diri saja, tetapi bahkan dapat menciptakan sikap permusuhan di antara kakak-beradik sehingga meninggalkan sebuah luka batin yang akan terbawa sampai mereka dewasa kelak.


Di dalam hati anak-anak akan cenderung timbul rasa iri, cemburu, dengki, bersaing tidak sehat dan saling menjatuhkan satu dengan lainnya. Perilaku negatif yang mereka lakukan hanya karena ingin menjadi anak yang memiliki nilai ‘lebih’ di mata orangtua sehingga dapat menarik perhatian dan kasih sayang orangtua.


Walaupun sejatinya, kasih sayang, cinta, perhatian, dan pengertian orangtua adalah milik semua anak dan harus dapat dirasakan oleh setiap anak.


Beberapa pencapaian yang diperoleh anak-anak di dalam sebuah keluarga tentu berbeda-beda. Mungkin sebagian dari mereka ada yang memiliki kelebihan di bidang pendidikan sebab ia selalu mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya, ada yang sering mendapatkan kejuaraan di bidang seni atau mungkin juga ada yang berprestasi di bidang olah raga sehingga ia sering mendapatkan penghargaan dan kejuaraan yang membanggakan orangtua.


Dari beberapa kelebihan anak yang dapat membanggakan orangtua, ada sebagian hal yang dianggap negatif dimata orang dewasa karena perilaku anak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial. Misalnya sulit konsentrasi, suka belajar sambil mendengarkan musik keras, harus sering diingatkan, dan tidak peduli pada diri (super cu-ek). Namun, perilaku negatif yang mereka lakukan adakalanya merupakan bagian dari kekurangan yang mereka miliki.


Segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap anak merupakan sebuah tantangan yang sangat berharga bagi orangtua. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh anak merupakan sarana sekaligus tugas dan tanggungjawab orangtua untuk menciptakan generasi agar menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya, orangtua malah bersikap melecehkan, menghina, dan mengkritik kekurangan yang dimiliki anak dan pelit dalam memuji, mengapresiasi dan memotivasi kelebihan yang dimiliki oleh anak.


Menginformasikan sebuah prestasi atau pencapaian yang diraih oleh orang lain kepada anak adalah perlu, agar anak merasa termotivasi dan selalu berusaha untuk selalu memperbaiki kepribadian dan kemampuannya sehingga ia mampu mencapai apa yang menjadi impian, cita-cita dan harapannya.


Namun, upaya dan tindakan orangtua di atas harus dilakukan dengan tepat dan baik. Maksudnya, sebagai orangtua bukan hanya menuntut agar anaknya menjadi seperti anak lain atau saudara lainnya yang berprestasi, tetapi juga perlu didukung dengan memberikan dukungan secara fisik dan psikis dari orangtuanya.


Muhammad Rasyid Dimas (2006) berpendapat bahwa merangsang anak agar memerhatikan anak lain adalah perlu, namun harus dilakukan dengan dua tujuan yaitu:

  1. Untuk mengingatkan anak bahwa ada orang yang lebih baik akhlaknya, perilakunya, dan capaiannya darinya serta untuk menarik perhatiannya tentang sifat-sifat istimewa yang harus dimilikinya. Itu dimaksudkan agar sedapat mungkin ia terdorong untuk meniru.
  2. Untuk menanamkan rasa percaya diri dan menyadari nilai dirinya saat membandingkan dirinya dengan orang yang lebih rendah prestasinya. Ia juga diharapkan mengetahui apa yang menjadi kelebihannya dan capaian-capaian yang bisa diwujudkannya.


Sikap orangtua yang tidak menuntut anak-anak secara berlebihan dan tidak membanding-bandingkan antara anak yang satu dengan lainnya tanpa tujuan, mampu menciptakan kerukunan hidup di antara kakak-beradik untuk saling membantu, empati dan menghargai.

Mengajarkan anak empati

Menciptakan kerukunan antara kakak- beradik, bukan saja dengan cara menanamkan sikap untuk saling menolong dan memberi. Ada satu hal lain yang sangat penting dan perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak mereka kecil, yaitu sikap saling empati satu dengan lainnya.


Menurut pendapat Azalea E. Tani dan Terry Th. Panomban (2006), empati sering digunakan untuk menunjukkan sikap di mana kita bisa memahami apa yang tengah dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain walaupun kita tidak mengalami hal yang persis dialami orang lain pada saat tersebut.


Di masyarakat kita, konflik antara kakak-beradik sudah sering kita jumpai. Permusuhan, saling menjelekkan dan sikap tak mau peduli satu dengan lainnya bukan merupakan pemandangan yang baru. Hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa sikap empati untuk menciptakan keharmonisan di antara kakak- beradik dalam sebuah keluarga belum tertanam.


Sikap empati yang perlu ditanamkan kepada anak-anak bukan hanya ketika mereka menghadapi atau mendapatkan kekecewaan, kesedihan dan kegagalan saja. Tetapi, anak-anak juga harus diajarkan untuk bisa bersikap sportif dengan memberikan dukungan berupa ucapan selamat, memberikan pujian, senyuman, atau pelukan sebagai tanda ikut bangga dan bahagia atas prestasi yang diperoleh oleh kakak atau adiknya.


Sejatinya, banyak sekali peluang untuk mengajarkan kepada anak bagaimana menumbuhkan sikap empati kepada seseorang. Kebahagiaan dan kesedihan yang datang silih berganti dalam kehidupan setiap individu, dapat dijadikan sebagai pembelajaran yang berharga bagaimana pentingnya bersikap empati kepada orang lain.


Orangtua dapat memperlihatkan kepada anak-anak bagaimana kita dapat mengurangi beban yang sedang dirasakan oleh seseorang dan menambah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh orang lain dengan sikap empati.


Memberikan pelukan dan mengatakan bahwa kita bisa merasakan dan memahami apa yang menjadi beban dan kesedihan seseorang serta memberikan ciuman, tepukan, pujian kepada seseorang yang mendapatkan prestasi merupakan bukti bahka kita ikut berempati dan mendukung keberhasilannya.


Semua kondisi di atas dapat dijadikan sebagai contoh yang baik oleh anak-anak sehingga pada situasi yang sama mereka dapat bersikap empati dengan benar.


Sikap empati merupakan salah satu dari nilai-nilai sosial. Karena itu, sikap empati yang sudah tertanam dalam diri anak-anak sejak kecil akan memudahkan mereka untuk dapat beradaptasi dan diterima dengan baik oleh keluarga maupun masyarakat di sekitarnya.


Dalam keluarga, sikap empati yang tumbuh dalam diri anak-anak akan menumbuhkan sikap saling menghargai dan merasakan satu dengan lainnya, sehingga hubungan kakak-beradik dalam keluarga akan selalu rukun dan harmonis.

Berbagi (sharing) dapat menciptakan kerukunan antar anak


Ada pepatah mengatakan bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Maksudnya, memberi (berbagi) lebih mulia daripada meminta (menerima). Oleh karena itu, menerapkan sikap berbagi perlu ditanamkan kepada anak sejak ia masih kanak-kanak agar dapat terbawa sampai ia dewasa kelak. Sistem syaraf pada usia kanak-kanak dipercaya masih fleksibel, cepat terpengaruh, dan mudah untuk dijaga.


Menerapkan sikap berbagi kepada anak diperlukan waktu dan kesabaran sebab pada umumnya seorang anak masih cenderung memiliki sikap mau menang sendiri (egois), ingin menguasai, dan belum dapat memahami arti kepemilikan. Usia anak sebagian besar masih suka beranggapan bahwa apapun yang diinginkan dapat dengan mudah ia peroleh dan miliki. Maka, tak heran jika di antara anak-anak sering terjadi saling berebut.


Berbagi merupakan salah satu perilaku terpuji yang perlu diterapkan secara berulang dan terus-menerus agar menjadi sebuah kebiasaan yang baik dalam hidupnya. Menurut pendapat Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, kebiasaan ialah kecenderungan yang bisa diusahakan, yang mendorong seseorang mengulang-ulang suatu perbuatan fisik atau akal dengan segera dan yakin tanpa berpikir dahulu ketika keadaan menuntut.


Orangtua merupakan sebuah model bagi anak, setiap tindakan yang dilakukan oleh orangtua akan ditirunya. Apabila orangtua menginginkan seorang anak yang suka berbagi maka harus memberikan tauladan kepadanya. Anak akan belajar dari apa yang diperlihatkan kepadanya.


Maka, apabila sikap berbagi sudah menjadi kebiasaan yang sering diperlihatkan orangtua dalam kuarga, otomatis sikap berbagi di dalam hubungan kakak-beradikpun akan tumbuh. Di antara kakak-beradik akan tercipta sikap saling memberi (berbagi).